Cinta Dari-Nya

Umurku baru 11 tahun, ketika itu aku masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Dia datang ke rumahku dengan orang tuanya dengan membawa buah tangan dari kampungnya. Setelah sedikit mendengar perbicangan-perbincangan antara orang tuaku dan orang tuanya, aku ketahui namanya Usman. Dia adalah anak dari saudara sepupu ibuku dari kampung. Dia datang ke Pekanbaru untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang Universitas yang kebetulan dekat dengan rumahku. Awalnya dia tinggal di rumahku hanya untuk sementara waktu, akan tetapi dengan kelakuannya yang baik serta rajin, orang tuaku menjadi tertarik agar dia tinggal lebih lama lagi dengan kami, begitu juga aku, aku sangat senang dia tinggal disini.

Aku seperti memiliki seorang abang yang selalu aku khayalkan, darinya aku banyak tahu tentang ilmu-ilmu agama, sehingga dari kelas 6 sekolah dasar aku telah memutuskan untuk memakai jilbab, masih kuingat kata-kata yang membuat aku hingga kini memakai jilbab yang panjang menutup hampir setengah bagian dari tubuhku, “Rasulullah bersabda: “Selangkah saja seorang anak perempuan keluar dari rumahnya dengan mengumbar aurat maka sesungguhnya ia juga telah mengantarkan ayahnya selangkah demi selangkah ke pintu neraka”. Walau sebetulnya aku tidak begitu mengerti atau memahami islam pada waktu itu, akan tetapi kecintaankku terhadap papaku membuat aku begitu ketakutan dan pada akhirnya mendoroku untuk lebih mendalami agamaku yaitu islam, setelah lulus dari sekolah dasar aku meminta orang tuaku untuk disekolahkan di pondok pesantren hingga aku menyelesaikan pendidikan tingkat atas lalu melanjutkan kuliah juga di Universitas yang bernuansa islami.

Waktu begitu cepat berlalu, 4 tahun sudah aku tidak melihat wajahnya sejak ia wisuda dari kuliahnya, karena setelah wisuda dia langsung mendapat tawaran kerja dari beberapa perusahaan di luar kota. Jadi bisa dimaklumi ia sudah lama tidak mampir ke rumahku, tapi hari ini entah kebahagian dari mana yang kami dapatkan, tiba-tiba dia menelpon kami dan mengatakan akan mampir. Hal inilah yang membuat aku memikirkan seorang sosok yang telah aku anggap sebagai abang kandungku sendiri. Aku begitu ingin terlihat special di matanya di bandingkan 2 orang adikku yang laki-laki, karena dulunya setiap pulang kuliah dia selalu membawakan kami oleh-oleh seperti snack-snack kecil.

Dan sebagai anak tertua tentunya aku selalu mengalah dengan buah tangan ala kadarnya itu. Kebetulan dia waktu itu juga memiliki kerjaan sampingan yaitu menjaga koperasi di kampusnya. Dalam pikiranku kini aku tidak akan mau lagi mengalah, karena kini kondisinya telah berbeda, “aku adalah seorang anak perempuan yang mesti dilindungi dan 2 saudaraku yang masih duduk di kelas 3 SMP dan kelas 2 SMA itu tentunya sudah seharusnya untuk diajarkan mandiri. Jadi nggak salah dong kalau kini giliranku yang akan mendapatkan lebih oleh-oleh yang di bawanya” gumamku sembari bercanda kepada keluargaku di ruang tamu sambil menunggu kedatangan bang Usman.

Selang beberapa lama menunggu, sebuah mobil mewah bewarna putih berhenti di halaman rumah kami, tiba-tiba keluar sesosok laki-laki tinggi tegap yang begitu asing bagiku, penampilannya begitu rapi, lalu masuk menuju kadalam rumah kami.

“Assalamu’alaikum.” ucapnya lembut,

“Walaikum salaam.” balas kami serentak.

“Usman silakan masuk.” lanjut papaku.

“Bang Usman..” gumamku dalam hati, aku seakan tidak percaya. Kini penampilannya begitu berbeda, badannya yang kurus kini, telah berisi, dahulunya ia sangat anti untuk memasukkan bajunya, kini melingkar ikat pinggang hitam yang mewah di pinggangnya.

“Ayo salami bang Usman…” papaku memcahkan kebingunganku.

“Sudah besar sekarang Aini ya?” Bang Usman mencoba basa basi sembari menyalamiku.

“Sudah semester berapa kuliahnya..?” lanjutnya.

“Semestar pertama” jawabku masih terlihat aneh.

“Udah punya pacar berarti dong?” balasnya sedikit bercanda.

“Nggaklah bang, kan abang yang ngajarin pacaran itu nggak boleh dalam islam.” balasku sedikit berbohong, sembari membayangkan wajah Vidi cowok yang sudah dua tahun ini menemani hari-hariku.

“Bagus-bagus” jawabnya dengan mimik wajah yang percaya dengan omonganku.

“Istri abang mana?” balasku sambil bercanda.

“InsyaAllah sebentar lagi ia akan mendampingi abang” balasnya dengan senyuman, dan aku tahu maksudnya itu adalah sebentar lagi bila di izinkan Allah pasti akan di pertemukan.

Setelah beberapa lama aku akhirnya pamit, dengan alasan ada kuliah di kampus, padahal sebenarnya aku hanya pergi untuk memenuhi janjian  jalan bareng dengan teman-teman kampusku, ya sambil mengajak cowok masing-masing, perlahan belakangan ini sejak duduk di bangku kuliah pergaulan yang tidak islami mulai mempengaruhi kehidupanku, membuat aku begitu merasa bersalah karena demi memenuhi janji-janji seperti itu aku terlalu sering berbohong kepada orang tuaku.

***

Papa mengetuk pintu kamarku, aku beranjak dari depan Laptop yang sedari tadi menemani malamku.

“sudah tidur nak..” gumam papa setelah ku bukakan pintu.

“belum, Pa. masih ngerjain tuga kuliah” ucapku kembali berbohong, padahal sedari tadi aku hanya diasikkan dengan mengobrol bersama teman-temanku melalui facebook dan twitter.

“Ada yang ingin papa bicarakan sama kamu nak..”

“tentang apa, Pa?” aku berjalan memasuki kamar di ikuti oleh papaku.

“Tadi siangkan Bang Usman datang kesini…”

“Teru-terus pa, dia meninggalkan oleh-oleh nggak buat Aini? nggak asik lagi dia orangnya kalau nggak ninggalin Aini oleh-oleh, sudah pelit dia sekarang, nggak peduli lagi sama Aini, dulu saja waktu dia tinggal di sini baik-baik sama awak, sekarang…?” aku memotong ucapan papaku dengan nada becanda.

“Nak, kamu sekarangkan sudah dewasa, kebutuhan kamu sudah semakin meningkat, sedangkan papa sudah beberapa tahun ini tidak pernah lagi mendapat pekerjaan, jadi…”

“Jadi apa, Pa?” kulihat bibir papa begitu berat untuk mengatakan sesuatu yang sangat penting kepadaku.

“Jadi apa, Pa…?” gubrisku lagi penasaran.

“Tadi Bang Usaman itu datang untuk melamar kamu, Nak.” Sontak aku begitu kaget mendengar ucapan Papa barusan. Diriku tiba-tiba gemetar seolah tidak percaya dari apa yang aku dengar. Aku menangis, tapi aku tidak tahu, apakah air mata ini adalah tangisan kesedihan atau kebahagian. Hatiku begitu bimbang. Di kampus kuceritakan semua yang kualami semalam kepada Vidi, dengan harpan ia akan mampu memberikanku solusi, namun yang kudapatkan hanyalah sebuah kata.

“aku cinta kamu Aini, aku tidak rela kalau engkau jadi milik orang lain” Vidi menangis di hadapanku membuat aku semakin tidak berdaya, tapi bagai mana aku akan menolak ramalan Bang Usman, dia ternyata telah memiliki perhatian yang begitu besar kepadaku mulai ketika aku memasuki sekolah tigkat menengah atas, rupanya dialah yang membiaya segala keperluan sekolahku dan adik-adikku.

“ooohhh Tuhan berikanlah aku petunjuk-Mu, janganlah engkau hadapkan hamba kedalam sebuah pilihan yang akan membingungkan serta yang akan membuat hamba lalai dari-Mu, dan berikanlah hamba sesuatu yang terbaik dari setiap pilihan yang Engkau hadapkan kepada hamba” aku tersimpuh dengan linangan air mata di atas sajadah tahajutku.

Hari yang ditetapkan tiba. Bang Usman kembali datang ke rumahku. Aku mengintipnya di kaca jendela kamarku, di wajahnya kulihat terpancar harapan aku menerima lamarannya, namun…

“Maapkan om Man, Aini sepertinya belum siap untuk…”

“Oh ya nggak apa-apa om,,,” Bang Usman langsung memotong pembicaraan papa, wajahnya kini terlihat begitu sedih.

Wajah papaku juga terlihat demikian karena sebetulnya jauh hari papa sudah mencoba untuk menjodohkan aku dengan Bang Usman sewaktu ia masih tinggal bersama kami ketika ia kuliah dulu, papa begitu tertarik pada Bang Usman dengan tingkah lakunya yang baik dan penuh kepedulian terhadap keluarga kami.

“Oh ya om, tante, bisa saya bicara sebentar dengan Aini..” Bang Usman memecahkan kesunyian di ruang tamu itu, aku berlari menjauh dari pintu kamarku, tiba-tiba ia masuk di temani papa dan mamaku yang kemudian meninggalkanku dan bang Usman berdua, aku menghadap membelakanginya.

“Haiii…apa kabar..?” sapanya dengan rada basa basi yang tidak aku pedulikan.

“Oh yaaa, kalau kamu tidak suka dengan lamaranku, tidak apa-apa kok. Mmhhh…saya mengerti bagaimana perasaan kamu. Dahulunya saya berada disini sebagai kakak bagimu, tempat engkau mengadu, dan berbagi cerita tentang perasaan-perasaanmu terhadap teman-temanmu, begitu juga saya, awalnya saya juga merasa aneh, jarak umur kita yang terpaut hampir 7 tahun, saya juga memahami kondisi itu, akan tetapi entah kenapa saya meyakini hati saya engkaulah nantinya jodoh yang diberikan oleh Allah untukku. Sebab itulah aku membimbingmu dengan nilai-nilai agama, dan mendukungmu ketika tahu antusiasmu untuk melanjutkan sekolah yang berbasis keislaman, aku mencitaimu karena-Nya, dan bila engkau ingin tahu itu sejak kapan, itu telah terjadi sejak keluguanmu untuk memakai jilbab dengan alasan tidak ingin menjadikan papamu masuk neraka, di situ aku melihat hatimu yang begitu bersih, suci dan penuh ketakutan akan azab Allah, dan sebab itu pulalah hingga sekarang aku tidak mencari pasangan hidup di luar sana, karena pada awalnya aku benar-benar yakin bahwasanya jodohku itu adalah kamu, tapi kalau itu sudah menjadi pilihanmu, tidak apa-apa karena saya juga sudah yakin bahwasanya Allah telah menyediakan seorang pendamping yang begitu istimewa untukku. Hmm..dan mudah-mudahan aku akan tetap menjadi abang yang baik bagimu…Wassalam.”

Suaranya yang gemetar membuat aku menangis. Aku tahu ungkapan itu bukanlah suatu untaian kata-kata yang jauh-jauh hari telah di rangkainya untuk meluluhkan hatiku. Ungkapan itu memancarkan keihklasan dan ketawadu’an yang selalu kulihat terpancar darinya. Aku keluar dari kamarku, berlari menuju pintu rumah, lalu memanggil Bang Usman, ia menolehku dengan mata yang berlinang. Aku menghusap air mataku, lalu terseyum manis kepadanya sembari menganggukkan kapalaku.[]

Created by : AND